Widget HTML #1

Studi “Cookie Monster”

Sebenarnya ada apa antara kekuasaan dan korupsi? Mengapa kekuasaan lekat dengan perbuatan rendahan seperti itu? Semakin tinggi jabatan seseorang semakin kuat kecenderungan untuk menjadi kaum kleptokrat alias maling.

Data publikasi Transparency International (TI) meletakkan Indonesia di ranking 96 dari 180 negara berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) dengan skor total 37 dalam skala 100 di tahun 2017. Nilai nol berarti sangat korup sedangkan 100 berarti sangat bersih.

Dari tahun ke tahun angka ini tidak pernah beranjak signifikan. Pada tahun 2012 skor berada di titik 32, meningkat menjadi 36 di tahun 2015. Langkah-langkah pemberantasan korupsi negara kita tampak stagnan.

Bagaimana kondisi dunia secara umum? 

Masih dari organisasi yang sama, Transparency International, skor CPI rata-rata adalah 43 dengan lebih dari 67% negara-negara di dunia berada di bawah angka 50. Luar biasa. Perilaku korup tampak sebagai sebuah normalitas yang berlaku.

Untuk menjelaskan fenomena ini ada beberapa penelitian yang berusaha mengkorelasikan antara kemiskinan dan tingkat pendidikan dengan perilaku korup. Memang dari studi semacam itu didapatkan korelasi antara rendahnya pendapatan per kapita dan tingkat pendidikan dengan perilaku korup.

Semakin miskin dan tak terdidik suatu negara akan cenderung semakin korup. Tapi faktanya tidak semua negara yang miskin dan bodoh itu korup. Ada beberapa contoh negara yang menunjukkan anomali, seperti misalnya Jerman dan Jepang pasca perang dunia kedua. Terlepas dari faktor kultur negara-negara anomali itu, tampaknya ada faktor yang lebih fundamental berperan terhadap perilaku korup. 

Untuk menjawab pertanyaan itu, pada tahun 1998, satu tim psikolog yang dipimpin Dacher Keltner dari University of California melakukan penelitian yang belakangan dikenal sebagai Cookie Monster Study. Studi ini menilai hubungan antara empati dan impulsivitas dengan kekuasaan.

Rancangan eksperimennya sebagai berikut, ia merekrut sejumlah subyek dan membagi subyek menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari tiga orang. Secara acak, dua dari tiga orang dalam kelompok diberi tugas sederhana yang sama yaitu mengarang sebuah tulisan, sedangkan satu orang ditunjuk untuk mengawasi dan mengoreksi kerja dua orang lain dalam satu tim.

Di tengah eskperimen yang sedang berlangsung selama setengah jam, kepada masing-masing tim disuguhkan makanan berupa empat potong kue kering. Kini di hadapan tiga orang terdapat sepiring kue kering berjumlah empat potong. Kira-kira siapa yang memakan lebih dari satu potong kue?

Dua subyek yang berperan sebagai pengarang tulisan masing-masing cenderung memakan satu potong kue sedangkan subyek yang berperan sebagai pengawas cenderung mengambil dua potong kue. Di samping memakan kue yang lebih banyak, subyek yang berperan sebagai pengawas juga cenderung memakan dengan suara mengunyah yang keras, membuka mulut lebar-lebar, dan membiarkan remah-remah kue berceceran di atas meja. Perilaku yang cukup mengganggu kerja dua subyek lainnya. 

Kesimpulannya?

Keltner mendapati bahwa para subyek pengawas merasa berhak memakan proporsi kue lebih banyak semata karena mereka merasa memiliki jabatan yang lebih tinggi dibandingkan dua subyek lain dalam satu tim. Keltner menyebut fenomena ini dengan istilah "The Power Paradox" atau Paradoks Kekuasaan. Sebuah istilah yang kemudian menjadi judul buku yang Ia tulis.

Kekuasaan, yang didefinisikan sebagai kualitas yang dimiliki seseorang sehubungannya dengan kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang banyak, cenderung membuat seseorang berperilaku tamak, impulsif, kurang empatik, dan kurang sensitif seiring berjalannya waktu terlepas dari apapun kultur, agama, tingkat pendidikan dan penghasilan.

Hal ini terbukti dari perilaku subyek pengawas pada penelitian Keltner yang memakan kue sesukanya tanpa berpikir untuk berbagi dan diperparah lagi dengan perilaku makan yang kurang baik dibandingkan dengan dua rekannya yang lain.

Semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang, semakin mencolok perilaku negatif yang mereka tunjukkan. Keltner juga menyebutkan bahwa kualitas positif seseorang yang seringkali menjadi alasan dia terpilih untuk mengemban kekuasaan menjadi kualitas yang pertama luntur seiring berjalanya waktu. Sungguh ironis.

Seperti kutipan dari John Emerich Acton, seorang filsuf dan politisi Inggris abad ke-19 yang mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” dibuktikan benar oleh Keltner. Kekuasaan saja, tanpa pengaruh tingkat pendidikan atau penghasilan, sudah cukup membuat orang berperilaku buruk, serakah, dan menindas.

Kecenderungan seperti ini sifatnya naluriah. Karena kekuasaan memiliki efek paradoksikal terhadap perilaku manusia yang semakin kuat dengan semakin tingginya jabatan, seseorang harus berusaha ekstra keras untuk mempertahankan sifat positif yang ia miliki seiring dengan kenaikan jabatan yang ia miliki. 

Ngomong-ngomong, seberapa seringkah atasan Anda bolos kerja, datang terlambat ke kantor ataupun melakukan hal-hal lain yang Iia larang pada anak buahnya dengan alasan “Saya kan atasanmu!”? Jangan tertawa, kemungkinan besar kitapun akan berperilaku seperti itu ketika naik jabatan. 

Persis seperti kata Abraham Lincoln, “Hampir semua orang dapat bertahan dalam kesulitan, tetapi jika kamu ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”