Widget HTML #1

Ilusi integritas dua wajah

Tadi pagi secara tak sengaja aku melihat postingan seorang kawan yang aku kenal. Di postingannya itu ia mencitrakan dirinya sebagai seorang profesional yang baik serta bisa memahami klien-kiennya dengan penuh kesabaran. Faktanya, jauh api dari panggang. 

Aku kenal betul tentang siapa dirinya di balik layar. Satu-satunya yang ia tahu adalah duit dan bagaimana caranya memeras klien-kliennya sampai tetes terakhir. Bagiku ia bukan cerminan seorang profesional, tapi seorang penipu dengan embel-embel gelar profesional.

Aku yakin, banyak di antara kita punya kenalan, kawan, saudara, atau rekan kerja seperti itu. Kawan yang kita tahu benar kelakuannya bak setan alas, tapi mencitrakan dirinya seperti malaikat tak bercela di depan publik. Atau kawan-kawan yang punya hutang tak dibayar, tapi akun media sosialnya penuh foto selfie di luar negeri seperti konglomerat.

Atau mereka yang mencitrakan dirinya sebagai pengusaha sukses mulai dari nol ternyata pemilik bisnis skema ponzi atau anak orang kaya yang tidak pernah tahu rasanya berjibaku dengan debu di jalan dan lembur dikejar deadline. 

Mengapa orang bisa begitu entengnya mencitrakan dirinya sebagai sosok yang bertolak belakang dengan kenyataan? Kita tahu, sebagai makhluk sosial, status sosial itu sangat penting bagi manusia, tapi mengapa manusia bisa seolah memiliki dua kehidupan yang bertolakbelakang namun tampak tenang-tenang saja terhadap hal itu?

Ambil contoh ekstrimnya, seorang pemuka agama yang namanya marak belakangan ini karena kasus pemerkosaan belasan siswinya, Herry Wirawan. Mengapa ia bisa begitu mudahnya melakukan sesuatu yang sebejad itu tapi tiba-tiba tampil rapi tak bercela di depan publik untuk menjadi teladan moralitas dan memberikan pengajaran tentang nilai-nilai luhur agama? 

Apakah ia tidak mengalami yang namanya “konflik batin”? Bagaimana otak mengolah pikiran-pikiran dan perilaku-perilku yang tidak konsisten satu sama lain untuk menjadi sebuah citra diri yang tunggal dan koheren dalam benak pribadi mereka? 

Seorang ilmuwan neurosains Michael Gazzaniga dari University of California, Santa Barbara, AS, tampaknya punya jawaban akan pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam studinya, Gazzaniga melakukan observasi pada banyak pasien epilepsi yang menjalani prosedur pemotongan struktur otak yang disebut Corpus Callosum.

Struktur Corpus Callosum ibarat kabel penghubung antar dua belahan otak kita. Tujuan pemotongan adalah untuk mencegah penyebaran impuls elektrik yang tidak terkontrol penyebab kejang pada pasien epliepsi. Prosedur pemotongan itu memang berhasil mengontrol kejang yang dialami pasien, tapi sesuatu yang aneh muncul belakangan. 

Karena kini otak kanan dan kiri mereka tidak lagi terhubung melalui Corpus Callosum, seolah otak kanan dan kiri bisa menciptakan persepsi tentang diri yang tidak lagi koheren satu sama lain. Seolah ada dua “diri” dan kehendak dalam satu tubuh orang. Kondisi seperti ini disebut dengan istilah “Split-Brain Syndrome”. 

Pada salah satu eksperimennya, Gazzaniga mencoba memperlihatkan dua obyek berbeda pada dua lapangan pandang mata pasien secara terpisah agar dipersepsikan oleh masing-masing belahan otak secara terpisah pula. Apa yang terlihat oleh otak kiri, tidak terlihat oleh otak kanan, dan demikian juga sebaliknya.

Lalu pasien yang sama disuruh menceritakan apa yang ia lihat. Umumnya, bagian otak yang mengendalikan kemampuan wicara ada di belahan otak kiri, di area yang disebut Wernicke dan Broca, sehingga ketika orang disuruh mengatakan apa yang ia lihat dengan otak kirinya, ia bisa menceritakannya dengan mudah, tapi ketika ditanya apa yang ia lihat melalui otak kanannya, pasien menjadi bingung, sebab otak kanan tidak memiliki pusat kontrol wicaranya sendiri.

Sesuatu yang menarik terjadi ketika pasien diminta mengambil barang yang ia lihat dengan otak kanannya, lalu menanyainya mengapa ia megambil barang itu. Sebagian akan menjawab bahwa mereka tidak tahu, tapi sebagiannya sisanya mengarang cerita tentang alasan mereka mengambil barang itu. Seolah otak kiri berusaha mencari alasan pembenarannya sendiri terpisah dari kenyataan yang dialami otak kanan. Mereka melakukan hal itu dalam kondisi sadar sepenuhnya dan tidak dibuat-buat.

Bagian otak kiri mereka berusaha memberikan makna pada berbagai pengalaman sensorik yang tampaknya acak menjadi sebuah cerita yang koheren dalam hal ini cerita tentang alasan dirinya melakukan sesuatu yang tampaknya absurd. Bagian otak itu seolah berfungsi seperti juru bicara yang manis atau “buzzer” bagi bagian-bagian otak lain, bahkan bagi bagian otak kadal kita sekalipun.

Studi Gazzaniga memberikan gambaran tentang bagaimana otak kita secara keseluruhan bekerja memberikan makna terhadap semua impuls sensorik yang masuk. Tanpa kemampuan seperti itu, segala impuls sensorik yang masuk dan memori-memori kita akan saling tumpang tindih satu sama lain seperti tumpukan sampah yang tidak bermakna.

Padahal kemampuan kita, sebagai makhluk biologis, untuk bertahan hidup sangat bergantung pada kemampuan kita untuk memberikan respons yang relevan dengan kondisi lingkungan. Agar bisa memberikan respons yang relevan, terlebih dahulu kita perlu menyusun model yang bermakna dalam otak tentang dunia di sekitar kita berdasar input sensorik yang masuk dan memori-memori kita di masa lampau. Semua itu dilakukan secara otomatis oleh bagian prefrontal otak kiri kita, tempat si “jubir” bersemayam. 

Hal ini menjelaskan mengapa orang bisa saja berperilaku inkonsisten namun tetap merasa dirinya memiliki integritas. Mereka menepis segala deskripsi yang bisa merongrong integritas egonya, meskipun hal itu sesungguhnya adalah fakta, sementara tetap berpegang teguh pada citra diri yang dibangun otaknya sendiri secara spontan. 

Mekanisme kerja otak ini menjelaskan pula mengapa kita sering mendengar berita pemuka agama yang berperilaku miring di balik panggung kehidupan sosial. Mulai dari pencabulan, penganiayaan, pemerasan, hingga penipuan. “Tidak ada orang yang sempurna” begitu kilahnya. Mereka tidak mau pikiran tentang dirinya yang inkonsisten mengalahkan integritas egonya.

Ada studi menarik tentang fenomena perilaku pemuka agama yang inkonsisten ini di tahun 1973. Sekelompok mahasiswa fakultas teologi dari Princeton University, AS pernah diminta secara mendadak memberikan kotbah tentang “Orang Samaria yang baik” di sebuah gereja yang letaknya berseberangan dengan kampus mereka.

Di tengah perjalanan, salah satu tim penguji menyamar sebagai orang sakit yang memerlukan pertolongan. Hanya satu dari sepuluh calon pendeta itu yang memilih datang terlambat demi menolong orang sakit. 

Bagaimana mereka bisa dengan ‘pede’nya menasihati umat-umatnya untuk saling tolong menolong namun mereka sendiri baru saja membuang muka terhadap orang yang minta pertolongan di depannya? Rata-rata mereka beralasan bahwa kotbah di depan banyak orang lebih penting artinya daripada menolong satu orang. Kotbah bisa menyentuh kehidupan lebih banyak orang. Jastifikasi yang mantap. 

Di sisi lain, banyak umat korban penipuan pemuka agama berkedok sedekah, misalnya, bisa dengan mudah memakluminya. “Ini adalah cobaan tuhan”, “ini sudah takdir ilahi”, “maksud saya baik, biar yang di atas yang menilai, bukan urusan saya lagi”, katanya.

Otak mereka secara spontan mengais makna-makna positif dari kejadian buruk yang berpotensi mengikis integritas egonya. Mereka tidak mau pikiran tentang dirinya yang naif, bodoh, serakah, dan mudah dikibuli merobohkan integritas egonya. Baik si penipu maupun yang tertipu, sama-sama berusaha mempertahankan ilusi egonya yang tunggal dan utuh. Klop.