Widget HTML #1

Eksperimen Kepatuhan Milgram

Bisa sepatuh apa kira-kira manusia terhadap manusia lain? Ketika seseorang diminta untuk melakukan sesuatu yang menjijikkan atau kejam, kira-kira sejauh apa ia akan melakukannya? Tidak ada yang tahu. Jika Anda saya suruh membunuh satu orang yang tidak Anda kenal paling dekat dengan Anda sekarang, apakah bersedia? Saya rasa tidak. Mungkin Anda akan mengira itu perintah yang gila. Hampir semua orang akan bertanya-tanya,

“Bagaimana saya bisa tega membunuh manusia lain yang bahkan tidak pernah saya temui sebelumnya?”


Tapi kenapa pemikiran seperti itu tidak muncul di otak kepala para tentara ketika mereka membunuh ratusan orang yang bahkan tidak pernah mereka jumpai sebelumnya atas perintah atasan? Apa yang ada di pikiran para teroris yang rela meledakkan dirinya sendiri seraya membunuh puluhan lainnya? Apa yang diperlukan agar seseorang mau melakukan perintah seseorang melawan hati nurani?

Stanley Milgram, seorang psikolog dari Universitas Yale mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas melalui studinya yang dimulai 1961, setahun setelah Adolf Eichmann disidang sebagai seorang penjahat perang Nazi di Yerusalem.

Selama Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, Eichmann bertugas untuk memfasilitasi dan mengatur logistik deportasi massal orang-orang “ras minoritas dan inferior” ke ghetto dan kamp-kamp konsentrasi di seluruh daratan Eropa Timur.

Pada tahun 1941, Eichmann, sebagai direktur Reich Security Main Office (RSHA), bertanggungjawab mendeportasi lebih dari 1,5 juta warga Yahudi di Eropa ke ladang-ladang pembantaian di Eropa, seperti di Dachau dan Auschwitz. Mereka ditelanjangi lalu digiring masuk ke kamar-kamar gas beracun seperti ternak. Tidak perduli pria, wanita, tua, muda, bahkan anak-anak dan bayi.

Monumen Holocaust Memorial di Berlin menjadi saksi bisu genosida yang memakan korban hingga enam juta orang warga sipil Yahudi selama Perang Dunia II. Monumen yang sama tempat Syahrini berselfi-selfi dengan ceria. 

Eichmann bukan satu-satunya pejabat dalam partai Nazi yang mampu melakukan kekejian semacam itu. Banyak penjahat perang lain yang diungkap kebiadabannya di hadapan persidangan di Nuremberg, Jerman pada tahun 1963. Di antaranya adalah Paul Götze yang digantung atas dakwaan pembunuhan orang-orang di kamp konsentrasi Auschwitz yang tidak mampu bekerja, dan Rudolf Höss yang menggagas penggunaan pestisida Zyklon B yang mengandung hidrogen sianida untuk melakukan genosida.

Di luar geonsida yang dilakukan di kamar-kamar gas, Nazi, melalui organisasi paramiliternya yang disebut pasukan SS membantai banyak orang di pedalaman Eropa. Salah satu catatan mendeskripsikan kesadisan pembantaian yang dilakukan tentara SS di pedalaman Perancis.

Ketika serombongan tentara SS melewati sebuah desa di Perancis, komandan SS memerintahkan agar serdadunya mengumpulkan semua orang di desa itu ke dalam gereja setempat. Semua orang tidak terkecuali. Semua pintu dan jendela gereja ditutup rapat dan dipatri lantas gereja dibakar sembari mengepung gereja dengan senapan mesin.

Orang yang berhasil menerobos keluar akan dihabisi dengan berondongan peluru dari moncong senapan mesin. Konon hanya satu orang yang selamat dari peristiwa mengerikan itu karena ia orang pertama yang menyadari bahwa tentara SS adalah tentara yang terkenal kejam dan tidak bisa dipercaya. Ia menyelinap keluar ketika tentara SS mulai menggiring penduduk desa masuk ke gereja.

Kira-kira apa yang ada di pikiran para serdadu itu ketika menerima perintah atasan untuk membunuh orang-orang tak tahu apa-apa dan bahkan belum pernah mereka jumpai sebelumnya, termasuk anak-anak dan bayi? Apakah kebencian rasial? Bagaimana mereka bisa membenci orang yang bahkan belum mereka kenal? 

Bukti-bukti di persidangan Nuremberg, Jerman, tahun 1963 menunjukkan bahwa mereka semua melakukan hal-hal di luar perikemanusiaan karena alasan “kepatuhan terhadap perintah atasan”.

Milgram mendesain sebuah eksperimen untuk mengetahui sejauh mana alasan kepatuhan itu bisa melawan hati nurani. Secara garis besar, penelitiannya bisa digambarkan sebagai berikut. Penelitian melibatkan tiga orang yang terdiri dari dua penguji dan satu subyek. Satu penguji bertindak sebagai pengawas sementara satu penguji menyamar sebagai subyek lain.

Subyek, yang secara sukarela mendaftar, diminta berperan sebagai guru yang membacakan pertanyaan untuk subyek lain di ruangan terpisah. Sebagai guru, subyek memiliki wewenang untuk memberikan hukuman kepada murid yang berada di ruangan terpisah ketika si murid memberi jawaban salah. Di sini yang berperan sebagai murid tak lain adalah anggota tim penguji sendiri yang menyamar sebagai subyek lain. 

Hukuman berupa sengatan listrik melalui elektroda yang diikatkan di lengan si murid. Sengatan listrik bervariasi dari 15 volt sampai 450 volt. Sengatan listrik 15 volt akan terasa seperti dicubit. Agar mengetahui seberapa nyeri akibat sengatan listrik, si subyek yang berperan sebagai guru disuruh mencoba sendiri bagaimana rasanya tersengat listrik 45 volt.

Nyeri plus kaget tentunya. Nah, hukuman ini meningkat derajat keparahannya ketika si murid berturut-turut memberikan jawaban salah. Selama eksperimen, subyek murid dengan segaja memberikan jawaban salah, dan setiap kalinya mendapat hukuman sengatan listrik yang keparahannya meningkat. Setiap sengatan listrik diberikan, si murid berpura-pura teriak kesakitan.

Sebenarnya sebelum studi ini dimulai, Milgram pernah bertanya kepada panel ilmuwan psikologi yang beranggotakan 40 profesor. Mereka sepakat bahwa tidak lebih dari satu persen orang yang bersedia memberikan hukuman yang berpotensi letal hanya karena patuh terhadap pihak otoritas, dalam hal ini para penguji. 

Apakah benar begitu hasilnya? 

Dari 40 subyeknya yang diteliti, semuanya, 100%, terus memberikan hukuman sampai ke titik 300 volt. Titik yang berbahaya dan bisa menyebabkan cedera serius. Enam puluh lima persen subyek bahkan terus memberikan hukuman sampai 450 volt.

Titik letal. Subyek guru terus memberikan hukuman meskipun ia mendengar si murid menjerit-jerit memohon agar eksperimen dihentikan (meski kenyataannya mereka hanya berakting tanpa sepengetahuan subyek). 

Mengapa semua subyek memilih untuk meneruskan eksperimen yang mereka tahu berbahaya? 

Rata-rata subyek tahu bahwa sengatan listrik yang ia berikan bisa mengancam nyawa subyek murid, tapi setiap kali mereka akan berhenti, si pengawas selalu berkata “Mohon lanjutkan.” Sebenarnya tidak ada paksaan sama sekali apakah si guru mau melanjutkan eksperimen ini dengan nyawa murid sebagai taruhan, tetapi si pengawas memberi kesan bagi guru sebagai pihak yang memegang tangggung jawab. 

Ketika di akhir eksperimen para subyek ini ditanya mengapa mereka memilih untuk melanjutkannya meskipun tahu konsekuensinya, rata-rata dari mereka menjawab “Kan Anda yang mengatakan bahwa saya harus melanjutkan.” 

Eskperimen Milgram di atas memberikan bukti bahwa manusia pada umumnya mengikuti perintah yang diberikan oleh sosok otoriter dengan sukarela bahkan ketika perintah itu berlawanan dengan hati nuraninya, misal perintah untuk membunuh atau menyiksa orang, yang tidak mereka kenal sekalipun. Tampaknya, kepatuhan terhadap otoritas adalah naluri mendasar dalam benak kita.

Kepatuhan buta terhadap pihak otoritas tampaknya adalah sebuah program mental bawaan yang memberikan kita peluang belajar bertahan hidup dalam lingkungan, namun program ini bisa dibajak untuk kepentingan lain. Eksperimen Milgram membuktikan eksistensi program mental ini.

Setelah penelitian yang dilakukan Milgram, berbagai variasi penelitian lain mengkonformasi hasil studinya. Bahkan, pihak otoritas tidak perlu hadir secara fisik untuk membuat orang lain patuh buta. Penelitian semacam ini melibatkan sekelompok perawat yang diminta oleh tim penguji yang mengaku dokter agar menyuntikkan obat (tentunya hanya obat palsu) mencapai dosis letal kepada subyek pasien (aktor). Dua dari tiga perawat bersedia melakukannya tanpa banyak bertanya. 

Phil Zimbardo, seorang ilmuwan psikologi yang pernah melakukan studi terkenal, Stanford Prison Experiment (aku pernah jelaskan di postinganku yang lalu), pernah ikut terlibat sebagai ahli dalam sebuah investigasi kasus kriminal riil bersama kepolisian di AS. Kasus ini melibatkan seorang kriminal yang kecanduan “phone sex”.

Ketika si penjahat ini menarget seorang wanita, ia menelepon kantor-kantor atau gerai-gerai fast food tempat wanita itu bekerja, mengaku sebagai polisi yang sedang dalam perjalanan menuju kantor untuk menangkap pengedar narkoba, yang mana adalah wanita targetnya. Ia meminta manajer kantor untuk sementara mengikat targetnya dan melakukan penggeledahan secara manual dengan menanggalkan pakaian si target dan menceritakan seluruh prosesnya melalui telepon.

Ada enam puluh korban pencabulan melalui telepon seperti ini di AS antara tahun 1990-2000. Salah satunya yang paling parah adalah si manajer kantor bahkan sampai menelanjangi target bulat-bulat, yang mana adalah karyawatinya sendiri, di depan banyak orang lain dalam kantor. Lebih parahnya lagi, si target bahkan bersedia diminta melakukan seks oral dengan rekan kerjanya.

Semua itu mereka lakukan karena tunduk pada perintah orang dalam telepon yang mereka kira adalah polisi sungguhan. Mereka semua, kecuali si penelepon, adalah orang normal, bukan penjahat. Mengapa mereka sanggup melakukan hal-hal keji dan menjijikkan, yang mereka sendiri tak pernah bayangkan, terhadap sesamanya hanya karena perintah pihak yang mereka yakini mewakili otoritas? 

Mengapa seorang yang dikenal baik dan santun tiba-tiba menjadi teroris yang bersedia meledakkan siapapun atas perintah otoritas? Di mana kehendak bebas mereka? Kalau kehendak bebas itu nyata, mengapa bisa sedemikian mudah dibajak faktor eksternal? 

Tampaknya dorongan otak manusia untuk membaur dengan lingkungan sosialnya dengan mematuhi nilai-nilai bersama cenderung mengalahkan bagian otak yang memonitor dimensi moral perilaku. Seberapa sering kita semua ikut membully orang yang bahkan tidak kita kenal hanya karena ikut-ikutan? Efek seperti ini disebut sebagai “chameleon effect” atau efek bunglon.

Lihat bagaimana penjarahan bisa terjadi saat kerusuhan hanya karena ikut-ikutan. Semakin banyak orang melakukan hal yang sama, semakin kuat dorongan yang muncul dalam benak kita untuk melakukan sinkronisasi perilaku. Masih ingat tentang eksistensi “mirror neuron” di dalam otak kita? Yaitu sel saraf yang ikut teraktivasi ketika kita melihat orang melakukan sesuatu lalu memerintahkan tubuh kita untuk meniru perilaku itu. 

Ingat, manusia adalah makhluk sosial, dorongan mereka untuk bertahan di dalam lingkungan sosial jauh lebih kuat daripada dorongan untuk berperilaku sesuai koridor moral dan rasional. Lagipula, dorongan berperilaku moral dan rasional juga sebenarnya adalah tuntutan sosial juga bukan?

Di postingan selanjutnya aku akan menjelaskan bagaimana dorongan untuk membaur dengan lingkungan sosial dan melakukan sesuatu di luar koridor moral dan rasional itu makin kuat ketika orang mendapatkan status anonim. Ini lah sebabnya saya malas berinteraksi dengan akun-akun palsu atau anonim di medsos kalau tidak kenal sejak lama. Sumber: Fb hendy wijaya.