Widget HTML #1

Kemampuan Bersosialisasi Manusia

Pada tahun 1798, seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun, ditemukan berkeliaran di sekitar hutan Aveyron, Perancis. Penduduk yang tinggal di sekitar hutan itu beberapa kali menjumpai anak itu, tapi tidak mengetahui anak siapa sebenarnya ia. Sangat mungkin anak itu adalah anak yang dibuang orangtuanya ke dalam hutan.

Di Eropa abad ke-18, bertepatan dengan dimulainya revolusi industri, pembuangan atau penelantaran anak adalah hal yang sangat lazim dijumpai. Rumah anak-anak buangan yang didirikan oleh pemerintan di seluruh daratan Eropa mencatat ada ratusan ribu anak setiap tahun yang dibuang orantuanya.

Itu yang tercatat. Alasan didirikannya rumah seperti itu adalah supaya orang tidak membuang anaknya sembarangan seperti ke selokan sehingga selokan mampet, ke tempat sampah, atau ke sungai sehingga sungai berbau busuk dan menyebarkan penyakit. 

Entah bagaimana ceritanya, anak yang belakangan dinamai Victor, ini bisa bertahan hidup hingga usia sepuluh tahun. Ketika penduduk sekitar berhasil “menangkap” anak ini, beritanya menyebar luas hingga ke Paris.

Dengan sekejap Victor menjadi semacam selebriti di kalangan para filsuf dan cendekiawan kala itu, salah satunya adalah Jean-Jacques Rousseau. Rousseau pernah berpendapat bahwa manusia dilahirkan sebagai individu yang baik.

Faktor lingkungan sosial termpat tinggal merekalah yang merusaknya, membuat perilaku manusia menjadi jahat.

Victor adalah kasus pertama yang dianggap sebagai ujian bagi pendapat Rousseau tentang sifat dan perilaku manusia. 

Kalau argumen Rousseau benar, maka seharusnya Victor yang tidak pernah hidup di dalam lingkungan sosial apapun seharusnya menunjukkan perilaku yang baik dan terhormat.

Namun kenyataan berkata lain, sifat dan perilaku Victor jauh dari kata baik dan terhormat.

Malah sifat dan perilakunya sama sekali tidak bisa dibilang sebagai perwujudan perilaku manusia. Perilaku Victor lebih mirip perilaku hewan daripada manusia. Victor memiliki perilaku yang liar, mengeluarkan suara-suara seprti hewan, buang air sembarangan, dan cenderung menyerang siapapun yang berusaha mendekatinya. 

Semula para cendekia mengira bahwa Viktor bisu dan tuli, dan oleh karenanya mereka memasukkan Viktor ke dalam institusi pemerintah bagi penyandang bisu-tuli.

Namun belakangan diketahui bahwa kendala komunikasi yang dialami Victor bukan disebabkan oleh bisu-tuli.

Seorang dokter dari Paris bernama Jean Itard yang bertanggungjawab merawatnya di dalam institusi itu mendeskripsikan Victor sebagai anak yang 

“menjijikkan, sering menunjukkan gerakan seperti kejang, kadang berdiri sempoyongan seperti seekor hewan berkaki empat yang berusaha berdiri di atas kedua kakinya, menggigit apapun yang bisa diraihnya, mencakar siapapun yang mendekatinya, tidak acuh terhadap siapapun yang ada di sekitarnya, dan tidak memperhatikan apapun.”

Meskipun menggambarkannya seperti itu, Itard masih yakin bahwa Victor dapat diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat setelah dilatih hidup selayaknya anak manusia. Awalnya, keyakinan Itard tampaknya terbukti benar.

Victor mulai memahami bahasa isyarat tertentu dan bahkan sudah bisa memakai pakaian sendiri, akan tetapi kemajuannya terhenti sampai di situ saja. Setelah lima tahun mendapatkan pelatihan intensif di bawah supervisi Itard, Victor tetap tidak bisa memahai bahasa vokal, tidak memahami cara berperliaku seperti anak-anak sebayanya. Itard mengurungkan niatnya untuk melepaskan Victor hidup di tengah masyarakat. Ia tetap hidup di bawah pengawasan Itard sampai akhir hayatnya pada tahun 1828.

Apa yang dialami Victor ini terulang kembali di kehidupan modern. Pada tahun 1970-an, seorang anak bernama Genie yang berusia 14 tahun disekap sejak usia 20 bulan oleh ayahnya sendiri di dalam sebuah apartemen di Kota Los Angeles, AS. Seperti halnya Victor, Genie tidak pernah berinteraksi sosial sama sekali dengan orang di luar apartemen.

Genie mengalami gangguan komunikasi dan interaksi sosial yang parah meskipun sudah banyak psikolog dan psikiater yang turun tangan berusaha merehabilitasinya. 


Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari kasus Victor dan Genie di atas?

Terlepas dari  faktor asupan nutrisi yang optimal, seperti postingan saya yang lalu, perkembangan kemampuan bersosialisasi tampaknya memiliki periode kritis. Selayaknya kemampuan belajar menggunakan bahasa secara spontan, kemampuan bersosialisasi juga sesuatu yang harus dipelajari secara spontan dari orangtua dan lingkungan sekitar sejak kecil.

Ketika preiode kritis itu sudah terlampaui, maka kemampuan manusia untuk berlatih kembali menjadi sangat sulit kalau tidak boleh dibilang tidak mungkin. Inilah sebabnya kita susah mempelajari bahasa baru ketika kita sudah berusia dewasa dibandingkan ketika kita masih anak-anak.

Hal yang sama berlaku juga bagi kemampuan berinteraksi sosial dengan orang lain yang ikut membentuk watak dan perilaku kita. Mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang disfungsional, akan cenderung berakhir mengalami kendala dalam kehidupan sosial.

Kisah Tarzan, oleh Edgar Burrough, sebagai anak yang dibesarkan oleh binatang di dalam hutan dan tumbuh menjadi pria dewasa yang terhormat, cerdas, dan bisa menguasai macam-macam bahasa dengan mudah hanya berakhir menjadi isapan jempol belaka.

Manusia tidak terlahir begitu saja sebagai individu yang baik seperti yang diyakini oleh filsuf kuno. Faktor lingkungan, bersama faktor genetik, menentukan bagaimana si anak akan berkembang ke depannya.

Kisah Tarzan lebih menggambarkan usaha jastifikasi rasisme daripada fakta ilmiah. Tarzan yang digambarkan sebagai seorang pria berkukit putih seolah menyampaikan pesan bahwa orang-orang berkulit putih memiliki sifat bawaan biologis yang unggul daripada ras-ras lain, buktinya meskipun dia dibesarkan di alam liar oleh kera sekalipun, ia masih bisa membawa sifat-sifat terhormat orang kulit putih.

Semua itu omong kosong belaka. Kasus Victor adalah bantahan bagi narasi Tarzan.

Hanya ada satu jeins pilem Tarzan yang menyatukan semua umat manusia, Anda tahu sendiri yang mana. 

Pertanyaan selanjutnya adalah apa bukti biologis bahwa otak bisa menyerap kemampuan bersosialisasi dari lingkungan sekitar?

Sumber: Hendy Wijaya