Widget HTML #1

Jeroen, Luit, dan Nikkie

Jeroen, Luit, dan Nikkie adalah tiga pemuda dalam satu geng. Mereka adalah pemuda asal Afrika yang hidup di Eropa. Di antara ketiganya, Jeroen adalah yang paling tua dan paling dihormati dalam geng, disusul dengan Luit dan Nikkie yang masih ABG.

Di setiap pesta makan, Jeroen selalu mendapatkan jatah makan lebih banyak daripada anggota lain di dalam geng, termasuk Luit dan Nikkie, karena posisinya sebagai kakak tertua itu tadi.

Selain itu, Jeroen juga mempunyai banyak perempuan sebagai gundiknya. Ada kalanya Jeroen, Luit, dan Nikkie terlibat adu mulut yang berlanjut baku hantam. Di setiap perkelahian, Jeroen selalu keluar sebagai pemenang.


Seiring bertambahnya usia, performa fisik Jeroen makin menurun. Ia mulai terlihat sering menghindari perkelahian. Melihat situasi ini, Luit tidak tinggal diam.

Di puncak usia mudanya dengan stamina yang masih membara, Luit berusaha meraih kesempatan sebagai pemimpin geng, menyingkirkan Jeroen yang sudah tampak lemah dan sakit-sakitan. Jeroen dengan mudah tersingkir ke posisi dua dalam geng.

Beberapa saat kemudian, Nikkie yang mulai memasuki usia dewasa juga ingin melakukan hal yang sama yang dilakukan Luit terhadap Jeroen untuk meraih posisi nomor satu dalam geng. Tapi alih-alih mengkhianati Luit, Nikkie lebih memilih menginjak Jeroen yang lebih tua dan lemah.

Posisi Jeroen otomatis tersingkir semakin merosot ke nomor tiga dalam geng. Sebagai individu paling kuat dan disegani dalam geng, Luit menikmati apa yang dahulu hanya bisa diperoleh oleh Jeroen, yaitu makanan berlimpah saat pesta dan kepemelikan perempuan-perempuan muda sebagai gundik. 

Di tengah kegundahannya mengalami “post-power syndrome”, Jeroen mulai bersiasat. Di depan Luit, Jeroen tampak menunjukkan rasa hormatnya, tapi di belakangnya, ia berbisik dengan Nikkie.

Ia melihat Nikkie yang masih muda dengan semangat berapi-api sebagai sebuah kesempatan untuk menjatuhkan Luit. Ia mengajak Nikkie bersekongkol menjatuhkan Luit dan berjanji akan mendukung Nikkie menjadi yang nomor satu di geng sementara dirinya puas dengan berada di nomor dua.

Saat lengah dan di luar jangkauan pengikut Luit, Jeroen dan Nikkie mengeroyok Luit. Luit kalah telak dan posisinya kembali tersingkir ke nomor tiga. Kini Nikkie menduduki posisi puncak dalam geng dengan Jeroen sebagai kaki tangannya. 

Merasa menjadi ajudan Nikkie, Jeroen mulai bertindak sesukanya dalam geng. Merebut pasangan anggota geng dan bahkan berani meniduri gundik Nikkie. Melihat hal itu tentu saja Nikkie tidak terima, ia merasa kewibawaannya diinjak-injak oleh Jeroen.

Ia menegur Jeroen dengan keras di depan banyak anggota geng. Jeroen jelas tersinggung dan dendam terhadap Nikkie. Di lain kesempatan ketika Nikkie dan Luit berseteru, Jeroen memilih untuk diam dan tidak lagi mendukung Nikkie bahkan ketika Nikkie diganyang Luit sampai klenger.

Sekilas cerita di atas tampak seperti kisah drama yang terjadi di dalam filem-filem triad Hongkong atau mafia Italia ala Don Corleone, tapi tahukah Anda bahwa cerita di atas adalah kisah nyata yang terjadi di sebuah geng di Eropa.

Tepatnya di dalam kebun binatang Arnhem, Belanda. Jeroen, Nikkie, dan Luit adalah tiga ekor simpanse dominan dalam kelompok mereka. Kisah ini adalah hasil observasi seorang pakar Zoologi Frans de Waal yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Chimpanzee Politics”.

Mereka bisa bersiasat, melakukan tipu muslihat, dan bersekongkol selayaknya manusia demi mendapatkan keuntungan pribadi. Ini lah yang disebut dengan kecerdasan Machiavellian. 

Dengan otak yang besar, lebih besar daripada mamalia lain dengan ukuran tubuh yang setara, simpanse bisa menggunakannya untuk membangun interaksi sosial yang kompleks demi bertahan hidup dalam kelompok dan mewariskan gennya ke generasi berikut sebanyak-banyaknya.

Beda antara kita, Homo sapiens, dan simpanse, Pan troglodytes, adalah bahwa kita bisa bersiasat lebih “licik” daripada mereka. Untuk bisa bersiasat lebih licik, kita tidak hanya memerlukan bahasa verbal, tapi juga memerlukan konsep tentang diri dan melakukan “mentalizing”, yaitu mensimulasikan perasaan, pikiran, dan kehendak individu lain di dalam benak kita sendiri sehingga memungkinkan penemuan solusi untuk memanipulasinya. 

Di kehidupan sosial, kita senantiasa berusaha memodifikasi situasi atau perilaku orang lain dengan cara memanipulasi pengetahuan yang beredar, salah satunya melalui gosip.

Tanpa kemampuan “mentalizing” yang kompleks kita tidak akan bisa bersiasat lebih licik daripada simpanse, atau mungkin lebih buruk lagi, daripada monyet. Proses “mentalizing” sendiri hanya mungkin muncul kalau kita menyadari bahwa diri kita adalah individu yang terpisah dari orang lain. 

Pikiran dan kehendak kita adalah entitas yang berbeda dengan pikiran dan kehendak individu lain. Di sini lah arti pentingnya konsep tentang diri atau “self”. Ia muncul selama sejarah evolusi demi kepentingan tipu muslihat.

Cogito ergo sum, karena berpikir, maka aku ada. Begitu kata Descartes.

Sumber: Hendy Wijaya