Widget HTML #1

Gen, Lingkungan, dan Problem Kehendak Bebas

Bradley Waldroup, adalah seorang pria paruh baya yang berasal dari Tennessee, AS. Ia memiliki empat orang anak dari istrinya, Penny Waldroup. Bradley hidup sendiri di dalam rumah karavan, terpisah dari istrinya.

Suatu hari, pada tanggal 16 Oktober 2006, Bradley duduk di dalam karavannya sambil mabuk dan membaca Alkitab. Ia tengah menunggu istrinya bersama keempat anaknya untuk menghabiskan waktu berakhir pekan bersama. 

Ketika istrinya muncul bersama seorang temannya, Leslie Bradshaw, Bradley tiba-tiba memulai cekcok dengan istrinya. Ketika keadaan makin memanas, Bradley yang lepas kendali meraih pistol, menembak 

Leslie delapan kali hingga tewas, lalu dengan sebuah golok di tangannya mengejar istrinya yang lari ketakutan. Ia lantas mengayunkan goloknya ke tangan istrinya hingga jari-jari tangannya putus dan membacoknya berulang kali hingga tewas.

Ketika diwawancarai, kesatuan polisi Tennessee mengaku bahwa kasus Bradley Waldroup ini adalah kasus kriminal paling mengerikan yang pernah mereka tangani. Tempat kejadian perkara persis rumah jagal. Percikan darah dan serpihan daging korban berceceran di lantai dan dinding rumah karavan Bradley.

Atas tindakannya ini, Bradley dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum, Chyntia Lecroy-Schemel di pengadilan negara bagian Tennessee, AS. Namun, tuntutan itu gagal dikabulkan oleh hakim. Tim pengacara Bradley berhasil “menegosiasikan” tuntutan itu menjadi hukuman penjara 32 tahun. 

Lha kok bisa? Apakah karena Bradley dianggap mabuk pada saat melakukan hal itu? Tidak. Saksi mata di saat kejadian mengatakan bahwa ia masih sadar sepenuhnya saat menembak dan membacok korbannya.

Tim pengacara berhasil meyakinkan para juri dan hakim di pengadilan bahwa Bradley membawa gen tertentu yang membuat dirinya cenderung untuk melakukan kekerasaan. Gen yang dimaksud adalah gen MAOA, gen yang menyandi sebuah enzim Monoamine Oxidase A.

Sebuah enzim yang berfungsi mendegradasi beberapa macam neurortransmitter di dalam otak yang bertanggung jawan terhadap perilaku manusia. Semua manusia mempunyai gen MAOA, tapi manusia tertentu memiliki varian gen MAOA yang membuatnya cenderung berperilaku antisosial atau psikopat.

Kasus Bradley Waldroup adalah kasus pertama di dunia yang melibatkan peran faktor genetik untuk dijadikan pembelaan bagi perilaku kriminal. 

Pertanyaannya adalah, seberapa kuat data ilmiah yang mendukung peran varian gen MAOA dalam menjelaskan perilaku kekerasaan pada diri seseorang? Apakah faktor genetik itu saja cukup untuk menjelaskan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang?

Varian gen MAOA dan hubungannya dengan perilaku manusia pertama kali ditemukan oleh seorang pakar genetika dari Belanda di tahun 1993, Hans Brunner. Brunner menemukan bahwa mereka para kriminal, seperti pemerkosa, pembunuh, atau perampok cenderung memiliki varian gen MAOA jenis “low-activity” (L) di kromosom X-nya.

Sejak saat itu kecenderungan antisosial yang berkaitan dengan MAOA-L dijuluki dengan “Brunner Syndrome”. Baru beberapaa saat setelahnya, seorang penulis kolom di surat kabar, Ann Gibbons menyebutnya sebagai “warrior gene”.

Penelitian lebih lanjut memang mengkonfirmasi hubungan antara kepemilikian varian MAOA-L dengan perilaku antisosial. Para pemuda yang terlibat menjadi anggota geng lebih banyak memiliki gen MAOA-L dibandingkan para pemuda non-anggota geng.

Mereka yang memiliki varian gen itu dalam geng juga terbukti empat kali lipat lebih sering membawa pisau kesana kemari daripada mereka yang tidak.

Tapi perlu diingat di sini, gen MAOA-L sendiri ditemukan pada sepertiga populasi masyarakat Eropa, sedangkan hanya sebagian kecilnya yang berakhir menjadi pelaku tindakan kriminal. Tampaknya gen MAOA-L tidak bekerja sendirian dalam mendorong munculnya perilaku antisosial.

Mereka yang memiliki gen MAOA-L tidak semata berakhir menjadi kriminal. Hanya mereka dengan gen MAOA-L dan hidup dalam kondisi lingkungan tertentu yang berakhir menjadi kriminal.

Untuk sifat-sifat yang kompleks, sekompleks perilaku manusia, gen tidak bekerja “in vacuum”, ia memerlukan dukungan faktor lingkungan yang spesifik agar sifat yang dimaksud muncul penuh. 

Kalau diri manusia diibaratkan sebagai sebuah pistol dan sifat manusia yang muncul diibaratkan seperti letupan pistol, maka gen adalah peluru yang ada di dalam pistol itu, sedangkan jari yang menarik pelatuk adalah faktor lingkungan.

Tanpa faktor lingkungan, gen-gen yang dimaksud tidak akan terekspresi mempengaruhi munculnya sifat, sama halnya dengan letupan pistol.

Tanpa adanya jari yang menarik pelatuk, pistol tidak akan meletup, terlepas dari seberapa banyak peluru yang ada di dalamnya, demikian juga sebaliknya, tanpa adanya peluru, atau faktor genetis dalam diri seseorang, pistol tidak akan meletup mau seberapa keras faktor lingkungan menarik pelatuk itu. 

Lalu faktor lingkungan apa yang terlibat sehubungan dengan varian gen MAOA-L?

Pola asuh sejak kecil pada diri seseorang. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gen MAOA-L dan dibesarkan dengan kekerasan fisik sejak kecil cenderung berakhir menjadi pelaku kriminal dan psikopat. 

Di luar pengaruh gen MAOA-L sebenarnya banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang dibuang lalu dibesarkan di panti asuhan cenderung menjadi orang yang problematik ketika mereka beranjak dewasa.

Mereka susah menjalin relasi dengan orang lain, memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya, serta cenderung menunjukkan perilaku hiperaktif. Semakin lama mereka berada di dalam panti asuhan sebelum diadopsi, semakin besar risikonya untuk berakhir memiliki kendala dalam kehidupan sosial.

Kurangnya kontak fisik antara orangtua dengan anak di usia kritis terbukti berpengaruh signifikan terhadap perilaku mereka di usia dewasa. Kondisi ini terbukti tidak bisa diputarbalik. Sama halnya dengan kemampuan berbahasa, kemampuan berperilaku baik dalam kehidupan sosial tampaknya memiliki fase kritis. 

Nah, kalau kita tidak bisa memilih komposisi gen kita ketika kita dilahirkan, demikian juga kita tidak bisa memilih ke dalam keluarga atau lingkungan seperti apa kita dilahirkan, dibesarkan, dan dididik, maka apa yang membuat kita berakhir seperti Bradley Waldroup bisa dibilang di luar kehendak bebas kita. 

Terlepas dari implikasinya bagi eksistensi kehendak bebas, sedikitnya ada dua pelajaran yang bisa kita tarik daripadanya. Pertama, jangan membuang waktu Anda berusaha mengubah perilaku manusia. Kecuali Anda dibayar untuk melakukan hal itu, sangat kecil kemungkinan Anda berhasil melakukannya.

Sepak jauh-jauh manusia-manusia toksik dari kehidupan Anda. Mereka sudah melewati usia fase kritisnya untuk bisa berubah. Kedua, siapkan kebutuhan fisik dan psikis anak-anak Anda sebaik-baiknya sebelum memutuskan untuk melahirkannya.

Anak bukan titipan atau berkah ilahi, tapi sebuah tanggungjawab. Jangan sampai mereka menjadi beban sosial, seperti Bradley Waldroup, ke depannya.

Sumber: Hendy Wijaya