Widget HTML #1

Charles Joseph Whitman, mantan marinir AS. The Texas Tower Sniper

 Pada tengah hari tanggal 1 Agustus 1966, seseorang bernama Charles Joseph Whitman, mantan marinir AS, menikam istri dan ibunya hingga mati, mengambil semua senapannya, naik ke puncak gedung University of Texas at Austin, AS lalu mulai memberondong kerumunan orang di bawahnya dengan 150 peluru. Akibat ulahnya Whitman membunuh 14 orang dan melukai 32 orang lainnya.

Setelah sekitar sembilan puluh menit berlalu, polisi akhirnya berhasil menembak mati Whitman. Karena pembantaiannya ini, Whitman dikenal sebagai “Texas Tower Sniper”. Kasus Whitman adalah kasus penembakan massal di sekolah pertama kali yang diliput televisi di AS. 

Pertanyannya mengapa Whitman melakukan hal itu? Apakah dia mengalami depresi atau mengidap skizofrenia? Kita tahu jawabannya sekarang. 

Charles Whitman memiliki riwayat perilaku agresif dan kekerasan fisik dalam keluarganya. Ia sendiri menjalani kehidupan yang cukup problematik dan pernah menjadi pengguna narkoba. Namun beberapa bulan sebelum kejadian penembakan massal, pikiran dan perilaku agresifnya ia rasa bertambah parah dan tidak terkendali.

Dalam suratnya yang ia tulis sebelum mengeksekusi aksinya, Whitman mengeluhkan adanya impuls atau dorongan untuk melakukan kekerasan yang makin hari makin tak tertahankan. Ia mengeluh bahwa dirinya seolah bukan dirinya yang dulu lagi. Di akhir suratnya ia menulis,


“Setelah aku mati, kuharap orang melakukan otopsi terhadap tubuhku dan menemukan jawaban apa yang sebenarnya terjadi pada otakku.” 

Whitman juga berharap, sebagian uang warisannya disumbangkan untuk melakukan penelitian tentang apa yang terjadi di otak orang-orang seperti dirinya kelak. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya. Dugaannya tidak salah.

Hasil otopsi menyebutkan bahwa di bagian otaknya yang disebut amygdala ditemukan sebuah tumor berukuran besar. Sekadar Anda tahu, amygdala adalah bagian otak yang menyematkan kualitas afektif terhadap segala input sensorik yang masuk, atau dengan kata lain, area ini membangkitkan emosi dalam benak manusia.

Kita cenderung beringas saat lapar, mudah tersinggung saat sakit gigi, atau gelisah saat kebelet boker karena aktivitas amygdala ini.

Hasil eksperimen pada hewan menunjukkan bahwa stimulasi berlebihan pada area ini akan menimbulkan perilaku agresif tak terkendali. 

Pertanyaannya adalah, siapa yang seharusnya bertanggungjawab dalam kasus pembantaian itu? Whitman atau tumornya?

Diri Whitman yang mana yang bisa kita bilang kriminal? Kalau apa yang dialami Whitman adalah manifestasi dari tumornya, di mana kehendak bebasnya? Adilkah kita menghakimi orang yang tidak memiliki kehendak bebas? 

Kasus Whitman adalah contoh nyata bahwa kehendak bebas adalah ilusi. Whitman sadar sepenuhnya saat melakukan pembunuhan, ia merasakan jarinya menarik pelatuk senapan, merasakan panas matahari di musim panas, merasakan debaran jantungnya saat melakukan aksinya, namun ia tak kuasa menahan dorongan dalam benaknya yang begitu meluap-luap. 

Seperti layaknya Whitman, seberapa sering Anda merasa sadar sedang merokok, main game, atau bergosip meski dalam salah satu sudut pikiran Anda sebenarnya Anda ingin berhenti? Di mana kehendak bebas Anda saat itu?

Pilihan Anda untuk melakukan sesuatu tampaknya ditentukan oleh emosi, memori dan situasi. Sekadar menyadari bahwa Anda sedang dan akan melakukan sesuatu tidak membuat pilihan Anda itu bukti bahwa kehendak bebas itu nyata.