Widget HTML #1

Dampak Revolusi dalam hidup

Aku rasa tidak banyak di antara kita yang menyadari bahwa kehidupan modern yang kita rasakan hari ini beserta dengan cara pandang kita terhadap dunia modern terbentuk akibat revolusi saintifik dan revolusi industri yang terjadi di Eropa abad ke-18.

Kita seringkali beranggapan bahwa cara pikir dan gaya hidup orang adalah sesuatu yang konstan hanya karena kita tidak menyadari perubahan itu seperti halnya kita tidak menyadari bahwa pohon itu tumbuh hanya karena kita tidak melihatnya tumbuh. 

Pernahkah Anda berpikir dari mana asal pepatah kuno semacam “banyak anak, banyak rejeki”? Atau apakah Anda tidak penasaran, mengapa orang di zaman kuno memandang aneh pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak? Atau mengapa terdapat perubahan sikap masyarakat modern terhadap fenomena LGBT?

Era revolusi industri yang terjadi di Eropa abad ke-18, atau sekitar tahun 1770 memicu suatu peristiwa yang dijuluki sebagai fase awal transisi demografis oleh para pakar demografi. Revolusi industri memicu peningkatan produksi pangan, dan pada gilirannya, peningkatan produksi pangan memicu pertumbuhan penduduk.

Pertumbuhan penduduk sendiri meningkatkan perkembangan industri sebab di fase awal revolusi, jenis industri yang berkembang adalah cenderung berupa industri padat karya yang memerlukan banyak tenaga kerja, misal industri pangan, tekstil, furnitur, rokok, dan lain sebagainya.

Hubungan revolusi industri dan pertumbuhan penduduk adalah hubungan dua arah yang saling menguatkan. Sebutan teknis untuk hubungan seperti ini disebut umpan balik positif. 

Jumlah penduduk yang banyak ditambah dengan laju urbanisasi yang naik drastis mengakibatkan peningkatan densitas penduduk yang tinggal di area perkotaan. Pada tahun 1680, jumlah penduduk di London adalah sekitar 450 ribu orang. Pada tahun 1770, jumlah penduduk London sudah lebih dari 700 ribu orang.

Dengan kepadatan penduduk sedemikian tinggi, London sudah melewati ambang kritis bagi terjadinya wabah penyakit, yaitu 500 ribu orang. Masalah kesehatan publik adalah masalah yang harus dihadapi penduduk kota London dan juga kota-kota lain di Eropa yang mengalami nasib yang sama.

Masalah ini menuntut pemerintah untuk melakukan perbaikan pada sanitasi publik dan menekan angka kematian prematur akibat penyakit infeksi, terutama pada anak-anak.

Di abad-abad sebelumnya, hampir separuh populasi Eropa, termasuk Inggris, mati akibat penyakit infeksi yang terjadi di usia pra-puber (di bawah 15 tahun).

Dengan perbaikan sanitasi publik, angka itu berhasil ditekan hingga separuhnya. Menekan angka kematian prematur juga berarti menghindari kerugian produktivitas kerja masyarakat secara keseluruhan.

Tenaga mereka yang mati seharusnya bisa dimanfaatkan di dalam dunia industri untuk menghasilkan barang dan jasa. Sampai sini secara tidak langsung, revolusi industri ikut beperan dalam menurunkan angka kematian prematur.

Penurunan angka kematian prematur yang tidak diikuti oleh penurunan kelahiran akan meningkatkan jumlah penduduk. Akibatnya, meskipun secara total produktivitas masyarakat Inggris meningkat oleh sebab revolusi industri, hal tersebut tidak selalu berarti bahwa masing-masing penduduk Inggris memiliki taraf hidup yang layak. Sebagian besar penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Antara tahun 1805-1833, kriminalitas di Inggris meningkat tajam. Kasus pencurian di negara itu naik 540% dalam periode waktu yang sama. Lebih dari 26 ribu orang dihukum gantung antara tahun 1806-1833. Sebagian besar di antara mereka dihukum mati oleh karena pencurian. Kondisi ekonomi memaksa mereka melakukan tindakan kriminal. 

Sementara itu, di sisi lain industri terus memerlukan pasokan tenaga kerja berlimpah yang bisa diupah murah. Dari mana tenaga kerja itu didapat? Dari anak-anak. Tenaga kerja anak-anak adalah sesuatu yang lumrah terjadi di masyarakat Eropa abad ke-18.

Mereka bisa diupah murah dan tidak memerlukan banyak makanan dibandingkan orang dewasa. Mereka cenderung patuh dan mudah diatur dibandingkan orang dewasa baik bekerja di industri manufaktur maupun di industri agrikultur.

Kalau pendapatan keluarga secara menyeluruh ditentukan oleh sejumlah uang yang dibawa pulang oleh setiap anggota keluarga sehabis bekerja, maka mereka yang memiliki banyak anak berarti memiliki lebih banyak pemasukan dibandingkan keluarga yang memiliki sedikit anak.

Makna pentingnya tenaga anak-anak itu lebih kentara di masyarakat industri sebab produktivitas industri tidak sepenuhnya bergantung pada tenaga otot tapi keterampilan tangan. Anak-anak yang sudah mampu dilatih mengikuti perintah orang dewasa, sudah bisa diperkerjakan mengoperasikan mesin sederhana.

Saat ongkos melahirkan dan membesarkan anak sampai usia mereka bisa diperkerjakan di pabrik lebih rendah daripada upah yang bisa mereka bawa pulang ke rumah setiap hari setelahnya, maka anak adalah rejeki. 

Antara tahun 1770-1850 adalah fase-fase kritis bagi revolusi sosial-politik masyarakat Eropa. Bukan sebuah kebetulan kalau revolusi Perancis terjadi pada tahun 1789. Peningkatan jumlah produksi pangan tidak bisa mengimbangi  pertumbuhan penduduk. Di era yang sama,

Thomas Malthus memprediksi jika kondisi seperti ini terus berlanjut, maka bisa dipastikan bahwa ke depannya bangsa Eropa akan selalu diganyang kelaparan, wabah penyakit, peperangan, dan bencana alam. Berdasarkan situasi yang terjadi saat itu, apa yang diajukan Malthus tidak sepenuhnya salah, namun ia keliru saat mengajukan solusi bahwa reproduksi masyarakat kelas bawah yang harus dibatasi. Atas solusi yang diajukannya,

Malthus mendapatan kritikan keras dari banyak pakar sosial dan ekonomi, salah satunya adalah Karl Marx. Karl Marx menyatakan bahwa problem utama kemelaratan bukan terletak pada masalah reproduksi yang tidak terkontrol tapi pada keserakahan kaum kapitalis. Produktivitas pangan akan meningkat mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk.

Sebab mereka tidak hanya makan menghabiskan bahan pangan tapi juga bekerja menghasilkan bahan pangan itu. Setiap penduduk akan memiliki taraf hidup yang baik apabila jumlah produksi dibagi secara merata di antara mereka tanpa monopoli kaum kapitalis. Ide Marx ini belakangan berkembang menjadi sebuah ideologi Marxisme dan Komunisme. 

Namun, baik Malthus, yang terlalu terobsesi pada hukum reproduksi, maupun Marx, yang terlalu terobsesi pada  hukum produksi, gagal melihat bahwa revolusi industri dalam jangka panjang menyebabkan terbentuknya hubungan yang baru antara reproduksi manusia dan produksi pangan. 

Kalau di peradaban manusia pra-industri, peningkatan produksi pangan selalu mengikuti pertumbuhan penduduk, sebab pertumbuhan produksi pangan menuntut lebih banyak tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, dan untuk mengatasi hal itu, peradaban zaman dulu memberlakukan perbudakan, di era revolusi industri, peningkatan produksi pangan terjadi lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk. 

Pada abad ke-18, sekitar tiga perempat tenaga kerja Eropa bekerja di sektor pertanian. Angka itu menyusut hingga tinggal kurang dari 20% di tahun 1950, tapi produktivitas mereka justeru meroket. Dahulu, satu orang petani dapat bekerja memberi makan 4 orang dalam setahun, sekarang 1 orang petani dapat memberi makan 155 orang dalam setahun.

Produksi pangan melesat jauh dibandingkan pertumbuhan penduduk. Di zaman modern ini, menurut data statistik, orang lebih mungkin mati akibat komplikasi obesitas daripada mati kelaparan. Satu dari tiga penduduk bumi sekarang mengalami kelebihan berat badan, dan sepetiga di antara mereka bahkan masuk ke dalam kategori obesitas.

Seolah produksi pangan telah berjalan sendiri secara otomatis di luar kendali tenaga manusia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, produksi pangan yang berlimpah tidak membutuhkan tenaga kerja berlimpah pula. Tenaga manusia menjadi kehilangan maknanya. 

Mengapa hal itu mungkin terjadi?

Hal itu mungkin terjadi oleh sebab adanya revolusi energi. Kalau anda menoleh ke belakang, segala kegiatan produksi yang dilakukan oleh masyarakat di kehidupan lampau hampir seluruhnya berasal dari tenaga otot.

Baik dalam bentuk otot hewan ataupun otot manusia. Sawah harus dibajak, disemai, dipanen dengan tenaga manusia atau hewan.

Kain harus ditenun, gandum harus digiling, juga menggunakan energi atau tenaga manusia. Revolusi industri dan saintifik, membebaskan energi manusia dan menggantikannya dengan energi fosil yang lebih efisien dalam artian tidak memerlukan keterlibatan manusia agar produksi meningkat.

Bayangkan berapa banyak tenaga hewan dan manusia  yang digantikan oleh truk dan traktor. Otomatisasi dan mekanisasi produksi memungkinkan tenaga kerja manusia tidak lagi diperlukan. 

Apa dampaknya bagi kehidupan sosial? 

Pertama, revolusi pekerjaan. Di masyarakat agraris zaman dahulu, anak adalah rejeki sebab mereka adalah golongan masyarakat yang bisa diperlakukan sebagai tenaga kerja murah, patuh, mudah diatur, dan tidak banyak memerlukan makanan dibandingkan orang dewasa.

Keluarga yang punya banyak anak berarti memiliki banyak potensi tenaga kerja “gratisan” di ladang. Demikian juga di masyarakat industri awal, anak juga merupakan rejeki sebab mereka bisa diperkerjakan di pabrik dengan upah seadanya.

Semakin banyak anak, semakin banyak upah yang bisa dibawa pulang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun dengan semakin majunya industri, baik di sektor agrikultur maupun sektor manufaktur, membuat tenaga kerja anak-anak tidak lagi diperlukan.

Mekanisasi sektor pertanian dan teknologi rekayasa genetika memungkinkan petani menghasilkan lebih banyak bahan pangan tanpa melibatkan tenaga kerja manusia, termasuk anak-anak.

Otomatisasi sektor manufaktur yang semakin canggih juga tidak lagi memerlukan tenaga anak-anak, sebab mesin yang canggih menuntut keterampilan yang lebih rumit, terlebih sektor jasa yang tentu memerlukan pelatihan formal menahun.

Dengan demikian, semakin maju dunia industri, anak-anak memerlukan pelatihan yang lebih rumit di lembaga-lembaga formal lebih lama agar menjadi lebih terampil dalam bekerja. 

Alih-alih membawa upah pulang, anak-anak justeru menuntut biaya pendidikan yang semakin mahal dan panjang agar dapat memperoleh pekerjaan sebelum bisa membawa pulang upah untuk keluarga. Lihat saja berapa biaya membesarkan anak sampai mapan bekerja di era modern ini dibandingkan zaman kakek-nenek Anda?

Daripada membesarkan anak sebagai bentuk investasi ekonomi, masyarakat modern lebih memilih menginvestasikan dirinya sendiri dalam dunia kerja. Singkatnya, daripada melahirkan, membesarkan, dan menyekolahkan anak supaya menjadi pengusaha sukses, akan lebih masuk akal bagi orang modern untuk memintasnya dengan sendirinya menjadi pengusaha sukses.

Anak adalah beban keluarga. Dari perubahan paradigma ini sekarang makin banyak pasangan yang “child-free”. Hal ini tampaknya menjelaskan mengapa generasi “sandwich” yang hidup serumah dengan orang tua dari generasi tua memiliki disonansi kognitif masalah memiliki anak.

Mereka tetap menganut tradisi orangtua mereka dengan mengatakan anak adalah rejeki, namun di sisi lain mereka sendiri sering didapati mengeluh tentang tingginya biaya membesarkan anak.

Fenomena LGBT juga makin marak sebab fungsi reproduksi manusia sudah terlepas dari perannya dalam kehidupan sosial-tenaga kerja. 

Dampak dari revolusi pekerjaan berakibat pada revolusi yang ketiga, yaitu revolusi kontrasepsi. Untuk pertamakalinya dalam sejarah, pertumbuhan penduduk manusia menyentuh angka negatif di banyak negara, terutama negara-negara maju.

Manusia sebagai makhluk biologis sudah bisa membebaskan dirinya dari naluri biologisnya sendiri untuk selalu memperbanyak diri seperti bakteri di atas cawan petri.

Banyak pakar statistik memprediksi bahwa laju pertumbuhan penduduk dunia bakal mulai menurun dalam beberapa dekade ke depan.

Revolusi industri yang didukung oleh kompleks sains-teknologi tampaknya berhasil membawa peradaban manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Revolusi saintifik dan revolusi industri secara tidak langsung berkontribusi dalam menghapuskan perbudakan dan eksploitasi anak.

Ada revolusi keempat yang dipicu oleh revolusi saintifik dan industri, yaitu revolusi usia harapan hidup, Kita masih belum tahu apa dampaknya bagi kehidupan di masa depan. Aku akan coba bahas di lain kesempatan.