Widget HTML #1

Dampak WA, Facebook & IG Down

Banyak yang mengira kalau kita adalah pelanggan Facebook atau Instagram. Bukan. Kita lah produk mereka, bukan pelanggan mereka. Lah kok bisa?

Begini, bayangkan Anda punya warung. Anda jual produk kebutuhan sehari-hari ke pelanggan. Pelanggan adalah orang yang membeli produk di warung Anda sesuai kebutuhan mereka, sedangkan Anda mendapatkan uang dari orang itu.

Pelanggan adalah orang menyerahkan uang kepada Anda atau dengan kata lain pelanggan adalah sumber pemasukan Anda.

Nah, Anda tidak membeli apapun dari Facebook atau Instagram. Aplikasinya juga gratis. Mereka bisa Anda install kapan saja ke dalam gadget Anda tanpa pungutan biaya apapun. Dengan demikian Anda bukan pelanggan Facebook atau Instagram. 

Dari mana mereka dapat uang untuk menghidupi dirinya? Dari para produsen yang ingin mengiklankan produknya di Facebook atau Instagram. Merekalah pelanggan Facebook atau Instagram.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Facebook atau Instagram bisa menarik perhatian para produsen untuk mengiklankan produknya? Dari iming-iming banyaknya pengguna Facebook.

Semakin banyak orang menggunakan Facebook, maka semakin banyak orang yang berpotensi menjadi sasaran iklan bagi produsen. Kita adalah “produk” yang dijual Facebook kepada para produsen barang dan jasa. 

Di sisi yang sebaliknya, bagaimana Facebook menarik orang untuk menjadi penggunanya? Dengan memanfaatkan naluri manusia yang paling mendasar, yaitu naluri untuk bersosialisasi.

Di tengah kesibukan bekerja yang semakin menyita waktu, naluri itu bisa tersalurkan melalui media sosial semacam Facebook atau Instagram. 

Kita ibarat ikan yang ditangkap oleh nelayan di laut dengan umpan untuk dijual ke pasar. Kalau ikan diumpan dengan makanan, kita diumpan dengan wadah untuk bersosialisasi dan berekspresi.

Meskipun analogi ini kurang sesuai, tidak ada yang salah dengan semua itu, semuanya sah-sah saja. Sampai sini tidak ada nilai moralitas yang dilanggar. Begitulah sistem ekonomi modern bekerja. 

Apakah Facebook berhenti sampai di situ saja? Tidak. Di mata produsen, apa yang membedakannya dengan media massa lain seperti televisi, surat kabar, atau radio? 

Facebook “memanen” berbagai data pribadi tentang diri kita, mulai dari usia, jenis kelamin, tempat tinggal, tempat kerja, latar belakang pendidikan, profesi, hobi, warna kesukaan, makanan favorit, riwayat hidup, orientasi seksual, warna kulit, berat badan dan tinggi badan, aktivitas sehari-hari, mobilitas, sampai apa warna pagar rumah mantan kita.

Bahkan jangan-jangan Facebook lebih tahu siapa kita sebenarnya daripada diri kita sendiri, sebab semua data di atas bisa memberikan gambaran tentang kecenderungan psikologis dan perilaku kita di dunia nyata.

Kita semua dengan sukarela membagikan data itu melalui postingan-postingan yang kita buat, postingan yang kita sukai, foto-foto yang kita unggah, grup-grup yang kita masuki, fanpage yang kita follow, tiap komen yang kita tulis, riwayat pencarian, atau kuisioner-kuisioner online yang kita isi. 

Tidak ada media lain yang bisa memanen data pribadi kita sedalam dan sedetil Facebook atau Instagram. Kalau data itu dikemas dengan baik, Facebook bisa menjadi media iklan yang sangat spesifik dan efektif. 


“Paket produk” seperti inilah yang diidamkan oleh produsen tapi tidak bisa ditawarkan oleh biro iklan dan media massa lain. Produsen make-up, misalnya, tentu ingin menyasar komunitas ibu-ibu atau remaja yang gemar make-up.

Facebook bisa menayangkan iklan secara spesifik kepada kelompok orang-orang itu, bukan kepada bapak-bapak satpam brewokan atau tukang ojek di poskamling.

Demikian juga iklan-iklan tentang penginapan dan tempat wisata tentu ditayangkan ke akun-akun orang yang suka traveling dan pasangan muda yang baru menikah.

Dari mana algoritma Facebook tahu? Ya dari postingan, komen, atau foto-foto Anda tadi. 

Hal ini sangat jauh berbeda dengan media televisi yang tidak bisa mendapatkan data pribadi penonton sedetil Facebook atau Instagram.

Dibandingkan media sosial, strategi iklan di televisi itu ibarat orang meng-“gebyah uyah”. Uang iklan yang digelontorkan oleh pihak produsen jadi tidak efisien dan efektif untuk menyasar pasar potensial. 

Tidak lama lagi Facebook bahkan bisa menjadi mesin pencari jodoh bagi para jones. Mereka dengan orientasi seksual yang sesuai, memiliki pemikiran yang sama, kegemeran yang sama, latar belakang pendidikan yang setara, pandangan ideologis yang koheren, bisa dipasangkan. 

Nah, media sosial baru akan menjadi dilema yang problematis kalau ia mulai disusupi oleh kepentingan-kepentingan politis.

Sebagai pihak yang mengantongi data pribadi hampir tiga milyar orang, Facebook atau Instagram bisa memilki kekuatan dan kekuasaan yang sangat besar dalam ekonomi dan politik.

Facebook bisa saja menjual data kita kepada para politisi culas untuk menggalang kekuatan, melakukan kudeta, menggiring opini publik, atau memobilisasi massa demi kepentingan udelnya sendiri. Bayangkan misalnya data tentang siapa saja yang rasis dijual ke para penguasa politik dari partai-partai politik berhaluan kanan.

Mereka bisa menggalang kekuatan politik dari sana, atau sebaliknya, data orang-orang yang berpaham liberal-sekuler diserahkan kepada pihak-pihak fasis relijius.

Kalau mau, mereka yang duduk sebagai pucuk pimpinan Facebook bisa “membentuk” masyarakat sesuai kehendaknya. Hal seperti ini lah yang sempat menjadi kekhawatiran para elit politik di AS beberapa waktu lalu. Kekuasaan yang terlalu besar dipegang oleh terlalu sedikit orang.

Kalau dari pelajaran sejarah, kondisi seperti ini selalu diikuti oleh kemunculan despot, yaitu kaum elit politik dengan kekuasaan absolut yang memerintah rakyatnya secara otoriter.

Rakyat jelata tidak punya pilihan lain selain patuh sebab si despot berkuasa penuh atas sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Dalam hal ini hajat hidup itu berupa media sosial, tempat orang menggantungkan tidak hanya keinginannya untuk berekspresi dan bersosialisasi, tapi juga mencari nafkah.

Lihat saja bagaimana hebohnya orang ketika Facebook, Instagram, dan Whatsapp ngadat barang beberapa jam kemarin.